Pandemi COVID-19 belum juga berakhir. Angka para pasien yang dinyatakan positif terus mengalami peningkatan. Kondisi ini tentu saja akan semakin berdampak parah, tidak hanya di sektor kesehatan tapi juga perekonomian apabila tidak segera ditangani dengan serius. Bagaimana tidak? Sudah hampir 2 juta pekerja baik dari sektor formal maupun informal kini telah di-PHK dan dirumahkan. Kehilangan pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup keluarga tentu akan berdampak pada kurangnya pemenuhan atas kebutuhan hidup. Lalu, bagaimana mereka bisa terus bertahan dalam kondisi seperti ini?
Kyai Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahwa kemiskinan adalah salah satu faktor yang menyebabkan mental dan etika masyarakat menjadi rusak. Semakin tinggi angka kemiskinan maka akan semakin tinggi pula tingkat kejahatan. Oleh karena itu Kiai Hasyim mengajarkan bahwa penting sekali bagi masyarakat untu memiliki kemandirian ekonomi melalui sektor pertanian. Artinya tidak bergantung pada pihak lain, sehingga pemenuhan kebutuhan hidup cukup dari apa yang dimiliki.
Akan tetapi sejak Orde Baru masyarakat justru diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan bagi segelintir orang. Sistem ini membuat kita tak berdaya sehingga merelakan segalanya terkomodifikasi, termasuk tanah dan air. Akhirnya ketika perputaran modal itu berhenti, maka berhenti pulalah sumber penghasilan masyarakat. Dan para kapitalis yang telah menumpuk kekayaan selama ini dari para pekerjanya dan kemudian mem-PHK mereka malah lepas begitu saja dari tanggungjawab untuk mengembalikan nilai lebih yang telah diambilnya itu untuk para pekerjanya.
Ketika kaum kapitalis tak mau melindungi para buruhnya dari kesulitan kebutuhan hidup, maka tanggungjawab itu kemudian dilempar kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun dianggap kurang tegas untuk menyelamatkan warga negara dari krisis ekonomi. Alih-alih memberikan insentif bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan, pemerintah justru memberikan pelatihan keterampilan secara online melalui kartu prakerja, yang kita tahu tentu tidak menjawab masalah kurangnya kebutuhan pangan masyarakat.
Persoalan ini memang tidak bisa menjadi tanggungjawab salah satu pihak saja, namun tentu kita patut marah jika pengusaha dan pemerintah yang memiliki kekuatan finansial besar dibanding kelas masyarakat lain tidak tepat tanggap terhadap permasalahan ini. Belum lagi menyoal masalah birokrasi yang bobrok dan korup sampai ke tingkat bawah, maka bukan tidak mungkin berbagai bantuan yang diberikan oleh pemerintah justru tidak tepat sasaran. Maka di sinilah masyarakat sendiri yang kemudian mengambil peran dengan menggalang bantuan dana dan sembako bagi yang membutuhkan. Namun bisakah tindakan tersebut memberikan kontribusi positif bagi kemandirian ekonomi kita di kemudian hari?
Sebagaimana jamak diketahui, keadaan ekonomi yang memaksa berubahnya pola distribusi pangan menyebabkan ketimpangan di mana di satu tempat terdapat keberlimpahan hasil pangan, namun di tempat lain justru mengalami kekurangan. Maka tak heran jika harga pangan mengalami kelonjakan di suatu tempat, sekaligus penurunan di tempat lain. Ketidakstabilan harga membuat masyarakat rugi karena harus menjual dengan harga murah atau membeli dengan harga mahal.
Jalan keluar untuk mengurangi masalah ketimpangan harga itu adalah dengan menyalurkan secara langsung hasil pangan petani yang ada di desa ke setiap warga yang membutuhkan pangan. Hal ini memang membutuhkan kerja relawan di mana relawan inilah yang akan memutus rantai tengkulak, sehingga harga yang sampai kepada konsumen tidak akan terlalu tinggi bagi mereka namun juga tidak terlalu murah bagi petani. Kini kita melihat telah muncul beberapa gerakan solidaritas pangan di berbagai kota, yang meskipun diiniasi oleh berbagai macam kelompok komunitas, setidaknya mengambil salah satu peran penting dalam rantai perekonomian, yakni distribusi.
Akan tetapi kerja relawan yang bertujuan merespons masalah saat pandemi ini saja tentu sangat disayangkan. Sebab masalah tengkulak sudah sejak dulu turut menyebabkan kemiskinan bagi para petani. Namun, relawan tidak mungkin terus melakukannya tanpa imbalan setidaknya untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini kita bisa menengok sistem zakat di mana dikenal bahwasanya salah satu penerima zakat adalah amil zakat yaitu pengurus zakat. Apabila kita terapkan ini pada sistem distribusi pangan tadi maka seorang relawan dapat tetap hidup dari sebagian distribusi pangan yang ia lakukan.
Kerja-kerja distribusi tadi tentu harus dilakukan secara terorganisir. Pekerjaan ini harus transparan, bersih, dan secara ideologis dilakukan demi keberlangsungan hidup bersama bukan demi keuntungan sebagaimana selama ini dilakukan tengkulak. Apabila hal ini dapat terus berlanjut sampai pasca pandemik tentu bukan tidak mungkin imajinasi untuk menyejahterakan petani dengan cara menyingkirkan tengkulak yang seringkali memainkan harga akan terwujud, bukan?***
Penulis adalah Sekretaris Komite Nasional Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
Catatan: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di laman FNKSDA. Dipublikasikan ulang di laman ini untuk tujuan pendidikan